Iman, atau keyakinan, adalah sesuatu hal yang dinamis dan berproses. Pada umumnya, kita dididik untuk memeluk agama atau keyakinan tertentu sesuai dengan kepercayaan kedua orang tua kita dan “taken for granted”. Selama bertahun-tahun kita diajarkan bahwa iman menurut agama kedua orang tua kitalah yang benar (dan sebagai konsekuensinya, kita memandang kepercayaan orang lain sebagai “salah”). Namun mulai pada saat kita dapat membaca dan menulis, serta menalar dan belajar, kita dapat mempelajari keyakinan atau agama lainnya guna memperbandingkan dalam semangat mencari kebenaran.
Iman, dalam hemat saya, dipelajari melalui proses. Bagaikan belajar berenang, kita mempelajarinya perlahan dan bertahap, kemudian kita harus terjun di air untuk mempraktekkan keyakinan atau iman tersebut. Awalnya kita diajari secara lisan atau tulisan bahwa manusia dapat berenang di air. Kemudian kita melihat baik secara langsung ataupun tidak langsung bahwa seorang manusia dapat berenang di air. Dan terakhir, kita mempraktekkan ilmu berenang tersebut dengan jalan menceburkan diri ke air. Pertama kita mempelajari gaya bebas, kemudian gaya punggung, gaya dada, serta gaya-gaya lainnya (dan mungkin juga gaya batu serta gaya gravitasi) guna membuktikan bahwa “manusia dapat berenang”.
Dalam teori keimanan (menurut saya) terdapat tiga tahap yang diilustrasikan dengan belajar berenang sebagaimana di atas yaitu Ilmul Yaqin, Ainul Yaqin, dan Haqqul Yaqin.
Ilmul Yaqin adalah saat dimana kita belajar mengenai berenang via lisan dan tulisan. Pada tahap ini, kita mengenal “iman” via buku-buku, pelajaran agama di sekolah, via khutbah-khutbah, dan input serta pengaruh lainnya. Di tahap ini kita mempelajari mengenai iman, kepercayaan, dan agama, melalui jalur pembelajaran formal ataupun otodidak, melalui jalur yang disebut “menuntut ilmu” atau mempelajari teorinya.
Ainul Yaqin adalah keimanan yang diperoleh melalui penglihatan; sebagaimana kata “ain” dalam bahasa Arab berarti mata. Kita melihat bahwa orang sakit dapat disembuhkan melalui kekuatan do’a, kita melihat seseorang yang mempraktekkan ibadah dengan baik dan benar tumbuh menjadi seseorang yang baik dan patut menjadi tauladan, kita melihat bukti-bukti peninggalan pusaka dari pada pendiri agama. Apa yang kita baca melalui buku-buku dan kita dengar dari para ahli mulai menunjukkan suatu bukti yang dapat “dilihat” oleh kedua mata kita sendiri. Disini teori mulai menunjukkan bukti, meskipun bukti itu belum terjadi pada diri kita sendiri.
Haqqul Yaqin adalah keimanan yang memiliki bukti. Kita tahu bahwa manusia dapat berenang karena kita sendiri dapat berenang. Kita percaya bahwa do’a dapat menyembuhkan karena do’a kita dapat menyembuhkan orang lain. Dengan Haqqul Yaqin, kita telah menjadi “bukti iman” itu sendiri. Dalam tahap ini kita sudah tidak perlu membaca buku lagi, tidak perlu melihat orang lain lagi, karena kita sudah “percaya seutuhnya”.
Contohnya adalah mengenai keberadaan surga-neraka. Mungkin melalui buku-buku dan khutbah, secara teori kita mengenal bahwa terdapat dimensi lain yang bernama surga serta neraka. Namun, apakah kita pernah melihat dengan kedua mata kita sendiri dan menyaksikan keberadaan surga serta neraka? Dan, pernahkah kita “mampir” ke alam surga dan merasakan panasnya api neraka? Jika kita belum pernah melihat indahnya surga serta buruknya neraka; serta belum pernah mencicip sejuknya hawa surga serta panasnya api neraka, maka janganlah pernah berkata bahwa “iman saya sudah sempurna”. Karena kita baru sampai pada tahap “ilmul yaqin”. Jangankan merasakan, wong melihat saja belum pernah koq.
Konon katanya, Tuhan ada dan berkuasa. Begitulah menurut kata buku dan kata orang-orang. Namun sayangnya, kita belum pernah “melihat” ujud Tuhan. Dan, kita belum pernah “bertemu” dengan Beliau. Bagaimana mungkin kita dapat berkata bahwa “iman saya adalah benar” dan orang lain salah? Jika iman diukur hanya oleh penglihatan dan perjumpaan, niscaya Iblis (atau Lucifer) jauh lebih beriman daripada kita karena ia pernah bertemu dan berdialog langsung dengan Tuhan. Bahkan seorang (atau seekor?) Iblis pun dapat terjatuh terjerembab dari surga karena satu hal : sombong dan menolak perintahNya (untuk bersujud menghormat pada Adam). Kita bicara mengenai Iblis yang terjatuh dari kedudukannya disamping Tuhan karena merasa sombong; bagaimana halnya kita, manusia biasa, yang melihat Tuhan saja belum bisa, apalagi berdiskusi denganNya, dan sudah merasa sombong; adigung adiguna, merasa diri mulia dan mampu menundukkan segala?
Jika saya tidak salah kutip, Syekh Jalaluddin Rumi pernah berkata, bahwa alangkah banyaknya manusia bicara mengenai keindahan mutiara yang tersembunyi di kedalaman samudera, dan alangkah sedikitnya manusia yang mau menyelam guna melihat keindahan sang mutiara!
Jika kita mencari keamanan, maka diamlah di pinggir pantai. Namun jika kita mencari kebenaran, janganlah takut tenggelam. Bagaikan seorang pemuda yang dapat dibuat gila oleh sang kekasih karena rasa cintanya, maka – konon katanya – bahwa Samudera Keindahan Ilahi hanya dapat diselami oleh mereka yang mampu melepas ketakutan, ego pribadinya, dan berpasrah diri hanya mengandalkan Bahana Cinta. Tanpa Cinta, maka iman hanyalah sekedar ujud ego pribadi dan rasa sombong dengan mengatasnamakan kebenaran. Merasa diri sendiri paling benar, dan manusia lain salah semua. Apa bedanya dengan perkataan Iblis yang menolak ketika diminta oleh Tuhan agar bersembah sujud menghormati Adam? “Aku lebih baik dari ia; ia diciptakan dari tanah; sedangkan aku diciptakan dari api!”
Namun Cinta memang menakutkan; karena Cinta dapat membakar dada; dan membuat pikiran waras menjadi gila. Cinta dapat merusak tatanan keluarga; dan membuat seorang dara rela menentang orangtuanya dan menyerahkan jiwa-raga serta segalanya demi sekejap momen kebersamaan dengan sang pria yang ia cinta. Cinta dapat membuat seorang lelaki membunuh sesama; hanya untuk menjumput sekecap aroma bau tubuh dari sang kekasih. Oleh karenanya; jarang sekali manusia dapat mencapai taraf “Haqqul Yaqin” akan keberadaan Ilahi. Karena Tuhan adalah Maha Pencinta; maka Ia adalah Maha Pencemburu apabila kita mencintai yang lain selain Ia. Jika kita mendeklarasikan “I love You” maka sudah seharusnya tiada yang selain Ia bersemayam di dalam hati kita. Tiada pacar, tiada kekasih, tiada anak, tiada istri, tiada harta benda, bahkan diri sendiri pun terlupakan, dan yang ada hanya Alloh semata…(dan ini, saudaraku, adalah pekerjaan yang maha berat!). Dan, konon katanya, pabila kita sudah dapat menyingkirkan segala sesuatu selain Alloh dari hati kita, maka bersiaplah untuk menyambut perjumpaan denganNya…
Mohon maaf atas segala kesalahan; Al Haqqu BiRobbikum (kebenaran hanya datang dari Tuhan); Wallohu a’lam bisshowab (hanya Tuhan yang tahu segalanya), wassalam…
(Padang, 5 September 2006)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

No comments:
Post a Comment